Nadine Chandrawinata





Hingga pertengahan tahun 2005, cewek kelahiran Hannover ini nyaris tidak terdengar di jagat hiburan tanah air. Paling-paling, dia hanya menjadi model pemotretan di majalah-majalah. Salah satunya, dia tampil bersama kelompok Slank di edisi perdana majalah Rolling Stone Indonesia. Selain itu, dia juga acapkali menjadi model yang berlenggang di atas pentas. Namun di tahun itu pula dirinya meretas jalan sebagai aktris dengan tampil berakting dalam film arahan sutradara Upi, Realita, Cinta dan Rock ‘N Roll. ”Awalnya sih, saya disuruh datang casting ke daerah Cipete,” tutur Nadine mengenang momen di awal tahun 2005.

Tiba-tiba saja kakak dari aktor kembar Mischa dan Marcel ini meraih popularitas yang tinggi. Maklumlah, Nadine terpilih sebagai Puteri Indonesia tahun 2005 dan berhak untuk mewakili negaranya di ajang Miss Universe 2006. Aneka kontroversi seolah dekat dengan dirinya. Konon Nadine dianggap melanggar surat keputusan Mendikbud RI nomor 02/U/1984 tentang pengadaan kontes pemilihan ratu dan sejenisnya. Nadine tetap bergeming dan berlaga di ajang tersebut di kota Los Angeles, California.

Kendati tidak sukses di ajang mancanegara (hanya menjadi juara kedua dalam kategori Budaya Nasional Terbaik dan Miss Congeniality), gelar Puteri Indonesia yang disandangnya sudah cukup untuk memuluskan jalannya di ranah hiburan. Klop sudah. ”Aku memang berasal dari keluarga yang suka seni,” tutur Nadine seraya menunjuk adik-adiknya yang sudah lebih dulu beraksi di layar lebar. Perihal film debutnya, barulah pada awal tahun 2006 film arahan Upi itu diputar di bioskop. Nadine memerankan sosok Sandra, seorang cewek yang berjiwa bebas.

Pasca film debutnya, Nadine mulai sibuk dengan seabrek kegiatan lain di dunia hiburan dan tentu saja membereskan kuliah. Studinya di London School of Public Relations bisa segera dituntaskan. Kemudian dua judul buku, yakni Pantaskah Aku Mengeluh dan Nadine, Labour of Love 2008 berhasil digarap.

Tahun 2008 agaknya merupakan tahun kebangkitan Nadine di layar lebar. Sebuah tawaran akting dalam film musikal bersama band Slank segera disabetnya. Generasi Biru sendiri adalah film eksperimental ala Garin Nugroho yang berkolaborasi dengan John De Rantau. Ya, ini memang film yang tidak biasa. Nadine kudu menari dengan iringan aneka tembang milik Slank. ”Aduh, semua legenda ada di sini,” tutur Nadine senang.

Legenda yang dimaksudkannya itu berasal dari bidang seni yang berbeda-beda. Sebut saja sutradara Garin Nugroho di film, kelompo Slank di musik, dan penari Eko Supriyanto di bidang tari.”Ini menjadi pengalaman yang luar biasa buat saya,” lanjut Nadine.

Kemudian, di akhir tahun 2008 muncul lagi tawaran akting lain. Kali ini sebuah film berjenis horor yang digarap empu film horor Rizal Mantovani bertajuk Mati Suri. Tak perlu berpikir dua kali, Nadine kontan saja menerimanya. Padahal syutingnya lumayan berat. ”Aku harus nyemplung kolam renang jam 3 pagi. Padahal syutingnya di Puncak,” demikian Nadine menggambarkan kondisi yang dialaminya. Belum lagi jika mengingat pada dasarnya Nadine adalah seorang penakut.

Apa boleh buat. Pantang bagi Nadine untuk menyurutkan langkah. Rupanya dia sudah terlanjur percaya dengan reputasi Rizal sebagai seorang sineas yang telah menelurkan film horor laris macam Jelangkung atau Kuntilanak. (bat)

Comments